Menguntungkan Korporat, Menyisakan Kekecewaan Masyarakat

Oleh: Nur Rahmawati, S.Pd
Hingga saat ini, pemberhentian tv analog masih menyisakan kekecewaan di tengah-tengah masyarakat.
Dan tentu ini menyulitkan masyarakat kalangan bawah. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menghentikan siaran TV analog atau analog swich off (ASO) di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) masyarakat di daerah tersebut sudah tidak dapat lagi menonton siaran TV analog. Meskipun hilangnya siaran TV analog ini bukanlah secara tiba- tiba, namun kini pemerintah telah resmi memadamkan seluruh saluran TV analog dan masyarakat harus berpindah ke saluran TV digital.
Dikutip dari pernyataan Mentri Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Kemanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, beliau menyebutkan masih ada beberapa stasiun TV yang belum mematikan siaran analognya. Hal itu berkaitan dengan perpindahan saluran analog ke digital. Dan beliau menegaskan jika masih ada stasiun TV yang menyiarkan saluran secara analog maka akan dianggap illegal dan bertentangan dengan hukum. Republika.co.id (Jumat, 04/11/2022)
Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan ASO merupakan amanat Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Kebijakan ini adalah ketentuan dari International Telecommunikation Union (ITU). Dimana peralihan siaran televisi analog ke digital adalah keharusan.
Keharusan perpindahan dari saluran TV analog kepada siaran TV digital secara tidak langsung memaksa warga untuk membeli set top box (STB). Sebagian masyarakat mungkin tidak merasa keberatan untuk membelinya, karena penghasilannya mungkin di atas rata-rata. Namun bagaimana untuk masyarakat yang tidak mampu membeli alat tersebut. Ini pasti menambah beban baru bagi masyarakat yang mengkritisi atas kebijakan ini, jangankan untuk membeli set top box untuk makan sehari-hari saja sulit. Dengan uang yang pas-pasan masyarakat pasti akan memilih untuk membeli beras dari pada Set Top Box.
Seharusnya pemerintah berpikir ulang untuk mengubah siaran TV tersebut. Pemerintah juga harus memikirkan masyarakatnya. Terutama ekonomi menengah ke bawah. Pasalnya tidak semua masyarakatnya mampu untuk membeli alat tersebut. Jika hal ini dipaksakan, artinya pemerintah sudah tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Bagaimana pun kebutuhan masyarakat akan tontonan masih terus bertahan hingga saat ini. Terutama masyarakat yang tidak memegang gadget, tontonan di televisi jadi andalan. Entah itu sebagai sarana hiburan atau menonton berita. Alhasil, dengan kondisi tersebut bisa jadi mereka “memaksakan” untuk membelinya.
Meningkatnya permintaan berkorelasi dengan meningkatnya produksi. Hukum ekonominya, jika produksi meningkat maka keuntungan akan semakin besar. Dengan demikian, vendor-vendor yang punya hajat atas ini, akan menikmati hasil atas kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
Masyarakat yang harus menelan pil pahitnya, para korporat yang menikmati hasilnya. Dan inilah bukti diterapkannya sistem Kapitalisme di negeri ini. Sudah sangat jelas dan gamblang, apapun motif yang melatarbelakanginya hendaknya pemerintah mengukur kondisi masyarakat secara real bukan berdasarkan hitung-hitungan statistik.
“Barang siapa yang memberi kemudaratan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberi kemudaratan kepadanya, barang siapa yang merepotkan (menyusahkan) seorang muslim maka Allah akan menyusahkan dia.” (H.R. Abu Dawud)
*) Penulis adalah Pemerhati Pendidikan
Komentar