Kapan Kapolda, Kapolri Minta Maaf atau Ucapkan Belasungkawa terhadap Para Korban Km. 50 ?

Oleh: Damai Hari Lubis (DHL)
Kasus KM 50 merupakan tragedi tewasnya Enam Orang Mujahid anggota Laskar Front Pembela Islam atau FPI pada Senin dini hari, 7 Desember 2020. Mereka tewas ditembak oleh (banyak) Personel Polri di Jalan Tol Cikampek, Jawa Barat, di Kilometer 50.
De Jure, secara fakta hukum, sejatinya ada tiga polisi pelaku pembunuhan di Tol KM.50 a quo. Namun Inspektur Polisi Dua Elwira Priadi meninggal dunia sebelum persidangan, kabarnya tewas karena kecelakaan saat berkendara/ laka lantas. Sehingga menyisakan dua terdakwa unlawful killing, yang bernama Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella yang peristiwa awalnya keduanya terlibat physical surveillance atau penjejakan fisik atau penguntitan terhadap 10 mobil yang sedang melakukan konvoi dalam sebuah iring - iringan untuk pengawalan seorang Tokoh Ulama Besar abad ini di negara mayoritas muslim terbesar di dunia
Dari pihak keluarga korban 6 orang yang telah syahid, serta masyarakat pencahari keadilan yang merasa turut menjadi korban oleh sebab, hukum pidana merupakan ranah hukum publik atau menyangkut kepentingan umum, maka kenyatannya banyak yang menyangsikan penetapan terkait jumlah para pelaku menurut penetapan de jure yang dijadikan TSK. yang cuma berjumlah tiga orang. Hal kesangsian terhadap jumlah dari para tersangka pelaku yang hanya tiga orang, merupakan de facto yang ramai dipublis sesuai data empiris, dan terkait ketidak percayaan publik itu dapat diketahui, dibaca melalui berbagai media massa dan atau dari berbagai media sosial.
Lalu de facto ketidak percayaan publik yang heboh semakin berkembang, kemudian seperti mendapat dukungan jastifikasi dari beberapa statemen hukum, yang narasinya berasal dari beberapa orang pakar dan eks anggota inteljen dibidang pertahanan dan/ atau militer, intelijen Kepolisian, intelijen penegakan hukum.
Atau mungkinkah suara - suara bernada fals atau sumbang terhadap pihak Polri, begitu cepatnya sampai ditelinga publik, yang kemudian menjadi bahan diskusi yang bersifat umum serta berlanjut eksis diruang publik, oleh sebab realita jaman saat ini yang serba digital, maka informasi dan narasi mereka cepat sampai, sehingga selain unlawful killing menjadi diskusi umum, tentunya menjadi konsumsi berita hangat oleh sebagian besar publik dari ummat bangsa ini, termasuk adanya missi rahasia yang "very extra ordinary crime" atau berita adanya unlawful killing, serta agenda tersembunyi dibalik peristiwa KM. 50.
Salah satu daripada sumber informasi sumbang, diprediksikan datang dari seseorang atau individu - individu yang jatidirinya adalah mantan intelijen kementrian atau lembaga pemerintah atau mungkin non pemerintah, atau darimana pun asalnya informasi yang beredar, karena dirasa cukup ilmiah dan logis atau masuk akal, sehingga akhirnya banyak dalil yang berhembus soal adanya pemantauan dan atau penguntitan terhadap Sang Ulama Besar Negeri ini, lalu mengerucut menjadi sebuah kesimpulan dalam bentuk opini publik, tentang agenda kejahatan yang luar biasa jahatnya, yang bila terbukti, pemerintahan negara ini, maka mirip pemerintahan negara komunis, dimana negara yang bersistem komunis, memang nyata begitu bencinya kepada tokoh agama, oleh sebab doktrinisasi ala komunis, bahwa : "agama merupakan candu yang dapat menularkan penyakit kepada para individu atau kelompok orang menjadi pemimpi, yang akhirnya akan merusak kemajuan pada generasi sebuah bangsa.
Terkait statemen terhadap peristiwa tragedi berdarah KM. 50, ada pendapat terbuka dari seorang tokoh yang diketahui bernama Asad Said, mantan wakil kepala BIN/ Badan Intelijen Negara, Beliau memaparkan terkait physical surveillance (penjejakan fisik) dengan menggunakan metode intelijen, bahwa untuk mendapatkan perkiraan jumlah pelaku penguntit di KM.50. Estimasinya adalah berhubungan dengan perbandingan atas jumlah orang, yang semestinya disesuaikan mengikuti kebutuhan pelaku intel penguntit.
Kemudian berdasarkan teori intelijen jumlah dari penguntit atau physical surveilance, akan berbanding dengan dua kali lipat minimal dari jumlah orang yang bakal dikuntit, sebagai para pakar dibidang intelijen, Ia juga menyatakan, jika penguntit dicurigai oleh pihak yang dikuntit, seharusnya para penjejak/ penguntit membatalkan misi atau menghentikan mobil, sembari berpura - pura terjadi kesalah pahaman, jikalau sampai terjadi kekerasan atau pembunuhan, maka misinya bukan sekedar pembuntutan tentang keberadaan seseorang, tapi ada missi lain atau oleh sebab culfa atau lalai atau kecerobohan ?
Pertanyaannya adalah apakah artinya surveillance KM. 50 memang adanya faktor dolus, bahkan terdapat mens rea atau niat melakukan kejahatan, dengan kata lain tindak pidana kejahatan yang dilakukan dengan sengaja bahkan bisa jadi sudah direncanakan (moord) sesuai pasal 340 KUHP. Bukan merujuk Pasal 338 KUHP. Yakni bertujuan untuk membunuh Para Pengawal Sang Imam atau justru incaran utamanya malah Ulama Besar aset muslim dunia Habieb Rizieq Shihab/ HRS. yang dikawal oleh beberapa orang laskar, diantaranya 6 ( enam ) orang Mujahid yang tewas dibunuh atau terbunuh oleh para penguntit atau tim yang membuntuti , dan terkait penguntitan dan siapa para penguntit/ pengintai jelas - jelas sudah disampaikan secara langsung dihadapan insan pers dari berbagai media publik, oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil bahwa mereka memang ditugaskan oleh kesatuannya atau tim dibawah tanggung jawabnya
Belakangan diketahui publik, adanya temuan pelaku lain selain para TDW. KM.50 pada saat berlangsungnya sebuah proses persidangan di pengadilan negeri Jakarta Selatan, terhadap peristiwa pembunuhan atas tewasnya Brigadir Joshua Hutabarat yang dilakukan oleh terdakwa Irjen Pol. Sambo, eks Kadivpropam Mabes Polri, bahwa saat Sambo menjalani persidangan, terungkap adanya temuan kuat yang patut diduga dirinya merupakan salah seorang subjek hukum yang juga ikut terlibat dalam peristiwa KM. 50, setidak - tidaknya, dirinya mengetahui siapa saja pelaku atau otak pelaku unlawful killing.
Petunjuk atau adanya faktor terhadap temuan hukum atas dugaan keterlibatan diri Sambo pada peristiwa unlawful killing KM.50, yang menyangkut proses hukum terhadap dirinya dan para pelaku yang terlibat pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua, yang kini atas dirinya sudah diputus vonis mati oleh majelis hakim. Apakah sebuah red bip sebagai tanda - tanda temuan pada diri Sambo jika dihubungkan dengan peristiwa Kematian Joshua ?
Oleh sebab Sambo selaku Uit lokker (intelektual dader) pada peristiwa aksi pembunuhan berencana dalam perkara pembunuhan terhadap Brigadir Joshua Hutabarat, bahwasanya diketahui pada peristiwa yang melibatkan istrinya sendiri Putri Chandrawathi atau Ny. Sambo yang juga terkait sebagai medelpleger karena turut serta menjadi pelaku yang dirinya tahu ada peristiwa pembunuhan, dimana saat setelah kejadian pembunuhan tersiar, Sambo merekayasa ke publik seolah peristiwa meninggalnya Joshua, didahului adegan tembak menembak antara Joshua dengan Bharada Pol. Eliezer, seolah sebagai pemicunya diawali kejadian pemerkosaan oleh Joshua terhadap istrinya Putri Chandrawathi atau Ny. Sambo, lalu Ny. Sambo pun yang direkayasa atau merekayasa sebagai korban perkosaan, tanpa visum dokter, melaporkan Sang Mayat Joshua ke Polres Jakarta Selatan, lalu pelaku pemerkosanya tewas akibat tembak menembak dengan Eliezer.
Laporan itu tentunya hanya untuk dijadikan salah satu alibi, karena laporan dibuat setelah pembunuhan berencana dilakukan. Kemudian kemiripan terjadi antara korban pembunuhan Almarhum Joshua dengan 6 Mujahid, pada kedua peristiwa, semua almarhum dijadikan Para TSK. Oleh pihak penyidik Polri. Dan selain itu subtantif dugaan walau masih prematur, atau subjektif namun tetap dalam koridor objektif terhadap Sambo, dikarenakan selain "sinyal kuat "adanya modus operandi penetapan status TSK. (objektif, karena melanggar konstruksi hukum pasal 77 KUHP) pada sosok mayat korban, sinyal kuat lainnya, adalah bahwa Sambo kedapatan mengiyakan atau terkesan kuat membenarkan isi pertanyaan seorang hakim yang menyidangkan perkaranya (prematur dan subjektif namun objektif), jika dihubungkan dengan attitude kejam Sambo, dan dari sis peran "perihal salah seorang anak buahnya yang juga sebagai TSK./ TDW yang telah merusak CCTV. Dirumahnya atau TKP. ", setelah pembunuhan dilakukan, yaitu Kombes Pol Agus Nurpatria perwira menengah Polri.
Bahwa pertanyaan hakim tersebut adalah ; " apakah anak buahnya dimaksud juga adalah sebagai oknum yang juga merusak CCTV. Di peristiwa Tol Km. 50 ".
Selanjutnya kembali pada inti narasi artikel, dinyatakan didalam statemen ahli atau pakar, " paling tidak jumlah para penguntit idealnya berjumlah 2 x lipat dari kendaraan mobil yang dipantau ", sehingga berapa orang pada setiap mobil ? Tentunya secara matematis cukup dengan jari tangan maupun kalkulator elektronik, maka estimasi dari eks Waka BIN. Asad Said tanpa kejelasan jumlah penumpang per-kendaraan penguntit minimal ada 2 X lipat dari 10 kendaraan konvoi dari Sang Imam Besar, maka minimal personil polri ada sejumlah 20 personil Polri ? Jika pengemudinya bukan robot ? lalu mengapa hanya ada dua atau tiga orang TSK. pada perkara dimaksud ?
Perihal putusan atau vonis terhadap kedua orang TDW., " sejak pagi hari, atau jauh hari sebelum ( ditetapkannya status kedua orang terduga TSK/ dua TDW ), sudah diramalkan oleh penulis dan ternyata tepat hasilnya. Oleh sebab faktor pengamatan dari sejak awal kejadian objek perkara in casu unlawful killing Tol KM. 50 Cikampek, Jawa Barat, banyak terdapat gejala proses hukum yang diikuti berbagai keterangan dan atau pernyataan yang aneh dan ganjil dari pihak Polda Metro Jaya, sebagai markas asal kesatuan dari tim surveillance. Selain lama berliku - liku dan " full obstruktif " atau penuh terlintang halangan, bahkan kuat kesan adanya faktor " barrier yang berupa abuse of power dari " oknum petinggi penguasa hukum, yang ditengarai ada keterlibatan dalam bentuk uit lokker ( bujuk rayu atau atas dasar kekuasan dan atau jabatan ) atau sebagai otak pelaku, sehingga turut terlibat bersama - sama melakukan delneming atau medelpleger, walau diantaranya ada aktor pelaku namun setelah selesai delik dilakukan atau pembantu/ penyertaan setelah kejahatan dilakukan
Padahal untuk memulai proses pengungkapan unlawful killing a quo, begitu simpel, sederhana, karena para TSK pelaku penguntit sebagian lainnya yang berada atau yang bersama - sama (delneming) di tempus dan locus delicti/ TKP. Yang tentunya merupakan saksi terjadinya delik di TKP ? Yang kesemuanya adalah rekan kedua TSK. sebagai Personil Polri, yakni Para Penegak hukum, yang tentunya kesemuanya sesuai Administrasi Polri telah sama - sama mengantongi surat tugas dan memahami SOP. Surveillance, disertai kelengkapan baku SOP. Yaitu membekali diri dengan senjata api dan borgol ?
Dan Mereka sebagai personil Polri didalam pelaksanaan surveillance, selain mengingat faktor sumpah dan jabatan serta SOP. Punya agenda prioritas, sesuai acuan pedoman kerja bagi setiap Polri, yang jargon-nya oleh Jend. Pol. Tito Karnavian disebut sebagai Promoter ( profesional, modern dan terpercaya ), sesuai Perkapolri Nomor 6 tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Jo. Undang - Undang RI. No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, sehingga praktiknya wajib bersikap jujur, amanah, dan objektif ( mandiri, profesional, proporsional ) serta akuntabel sehingga hasilnya tepat atau Presisi, yakni " new jargon " dari Kapolri, Jend. Listyo Sigit P. Yang akronimnya berasal dari Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan
Namun nyatanya dalam proses pengungkapan kenapa bisa tersendat-sendat, seolah sengaja dibuat sulit serta banyak didahului dengan keganjilan, yakni Tersangkanya/ TSK justru adalah para korban 6 orang Mujahid yang tewas dibunuh si pembunuh.
Ini sebuah fenomena negatif, pelaksanaan proses hukum yang anomali, jelasnya kontra penegakan hukum semestinya, tidak layak jika dikomparasi dengan ilmu hukum yang berdasarkan asas teori dan atau dalil hukum. Atau mungkinkah kualitas minimnya ilmu hukum yang sebenarnya masih dalam tahapan " sekedar baru menyentuh asas - asas hukum pidana," atau-kah implementasi dari perilaku bodo amat terhadap " rumah organisasi dari 6 orang korban Syahid, yaitu Kelompok FPI/ Front Pembela Islam ", namun diyakini, bahwa mustahil Para Petinggi Polri amat bodoh, atau bodoh bodoh amat
Lalu ? Mengapa Para Syuhada yang meninggal justru ditetapkan sebagai TSK- nya. Ini jelas blunder yang disengaja, kebijakan yang sesat dan menyesatkan, karena melanggar asas hukum daripada pasal tentang hapusnya tuntutan terhadap subjek hukum yang berstatus TSK/ TDW bahkan terhadap narapidana sekalipun, atau TDW. yang sudah memiliki vonis inkracht. Dikarenakan orangnya atau subjek hukum pelakunya telah meninggal dunia
Sehingga, sebagai pengamat hukum terhadap bakal putusan " sejak pagi atau jauh hari sebelumnya ", dalam beberapa artikel yang sudah dimuat oleh media publik/ massa on line, termasuk artikel asli yang sudah diviralkan oleh pengamat ( penulis artikel ) dan ikut tersebar oleh publik medsos, terkait ramalan tentang akan isi vonis/ surat putusan, bahwa, " TSK setelah menjadi TDW. akan mendapat vonis bebas dari tuntutan JPU. kelak, melalui pertimbangan atas dasar pasal 49 KUHP. atau onslag, atau putusan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) sesuai pasal 191 ayat ( 2 ) KUHAP. atau bukan vrijspraak, atau bukan merujuk Pasal 191 ayat ( 1 ). Sehingga bebas, demi hukum karena tidak terdapat bukti dengan kata lain bukan bebas murni serta tidak terkait overmacht/ karena berat lawan vide. Pasal 48 KUHP.
Selebihnya, ramalan vonis yang kebetulan presisi, hanya dikarenakan logika sehat dalam berpikir, serta keberlangsungan penegakan hukum dengan pola suka - suka , sungsang atau terbolak balik, semau udel dan ketergantungan atau tergantung pesanan oknum penguasa. Selebihnya adalah oleh beberapa data empirik yang dapat menjadi dalil hukum, termasuk unsur - unsur dengan mengikuti dalil hukum yang melengkapinya, yang berupa notoire feiten notorius (sepenhtahuan umjm), selain bahwa case a quo mendapatkan perhatian cukup besar dari publik serta lintas profesi, bahkan dimata dunia internasional, serta fakta hukum ;
1. Penampakan adanya langkah hukum oknum aparatur polri berada diluar sistim hukum, dengan tanda - tanda terdapat gejala obstruktif melalui pola " abuse of power ", representatif dari sebuah policy/ perilaku kebijakan pada sektor subjektifitas terhadap kedua TSK/ TDW. Terbukti melalui kacamata hukum oknum penyidik selaku "penguasa" penegakan hukum termasuk JPU. pada tingkat penuntutan berperilaku yang tidak berlaku lazim menurut Pasal 21 Ayat ( 4 ) KUHAP. Oleh sebab hukum ancaman hukuman kepada para pelaku terkait kejahatan Pasal 338 KUHP adalah lebih dari 5 Tahun, maka alasan subjektif sesuai Pasal 21 Ayat ( 1 ), semestinya kedua orang TSK/ TDW. Ditahan atau berada didalam tahanan, namun nyatanya tetap bertugas sebagaimana biasanya serta bergerak secara merdeka layaknya manusia tak bersalah, sehingga hidup bebas.
Sehingga sesuai dalil hukum yang melekat pada KUHAP Jo. KUHP. Patut dicurigai oleh publik akan adanya intervensi melalui diskresi Oknum Petinggi atau Pejabat Penguasa yang kausalitas hukumnya menimbulkan peristiwa yang amat " miris, bengis serta tragis", membuat sirna keyakinan objektifitas dan netralitas dari sekian banyak para aparatur negara, yang akhirnya berdampak citra buruk terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara ini pada umumnya dan khususnya dibidang penegakan hukum
Perilaku keharusan dari sisi kacamata hukum terhadap penyelenggara negara, melekat beban kewajiban menjunjung tinggi rule of law. Maka kenapa tidak disuri tauladankan, oleh bangsa yang aslinya sudah beradab selama berabad - abad serta memiliki kumulasi kaidah atau ketentuan yang mesti dirujuk demi mencapai dan mendapatkan keadilan/ gerechtigheit, selain berkepastian hukum/ rechtmatigheid dengan proses yang selalu mesti mengikuti gaiden (due proccess of law) sesuai ketentuan kaidah, yang komitmen, bahwa setiap orang sama dihadapan hukum (equality before the law), apapun status, derajat dan golongannya dan atau jabatan yang disandang.
Sehingga historisnya terhadap tragedi di Jalan Tol KM. 50 dan semua proses hukumnya saat ditangan penyidikan Polri merupakan black history atau Catatan Cacatan Hitam Penegakan Hukum, Era Kapolri Tito Karnavian sampai era Kapolri Listyo Sigit Prabowo
2. Selanjutnya, bahwa status sejarah penegakan hukum di tanah air ini, oleh sebab TSK nya selaku subjek hukumnya adalah Anggota Polri, usia dewasa dan terlepas dari pasal 44 Jo. 45. Atau terlepas dari faktor bebasnya hukuman oleh sebab faktor si terduga atau TSK sebagai subjek hukum yang sehat berfikir tidak gila, atau tidak dalam pengampuan/ perwalian, atau nyata tidak memiliki surat keterangan adanya gangguan pada faktor kejiwaan ( level parah, temporer atau permanen ), atau tidak ada pernyataan yang isinya menerangkan tidak waras berdasarkan dr. ahli/ psyater. Dan atau Para TSK. tidak pikun, atau aidiot, atau debil dan atau embisil dan mengingat tinjauan hukum menurut Pasal 52 KUHP. sebagai unsur pemberat ancaman hukuman bagi aparatur selaku dader atau pelaku delik yakni dapat ditambah 1/3 hukuman dari sanksi ancaman hukuman yang terberat
3. Terbitnya status TSK. kepada subjek hukum, yakni terhadap para syahid yang nyata - nyata hanya tinggal nama dan jasadnya, sebagai korban yang meninggal akibat penganiayaan dari para pelakunya, yang secara hukum, seandainya pun 6 ( enam ) orang para korban terbukti vonisnya bersalah, maka oleh karena faktor meninggal dunia, maka menjadikan peristiwa hapus atau gugurnya penuntutan hukum terhadap mereka sesuai Pasal 77 KUHP. Jo. Vide ketentuan tentang kadaluwarsa atau hapusnya hukuman Pasal 78 KUHP. UU. RI Nomor 1 Tahun 1946.
Alhasil, vonisnya adalah dengan berbagai pertimbangan majelis hakim, bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh Para Terdakwa terbukti namun dalam keadaan terpaksa (noodwer) sesuai pasal 49 KUHP. sehingga lepas tuntutan hukum atau onstlag.
Demikian bunyi putusan secara virtual (on line) pada Hari Jumat, 18 Maret 2022 Oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Yang menurut publik, segala pertimbangan dinyatakan oleh majelis hakim merupakan hal atau kejadian yang tidak masuk akal ‼️ Oleh sebab faktor culfa hingga matinya orang harus tetap mendapat sanksi hukuman, sesuai KUHP. 359 KUHP. Serta terlebih keberadaan sebuah ketentuan asas hukum yang dikenal dengan istilah fiksi hukum atau presumptio iures de iur, yang artinya, bahwa setiap orang dianggap tahu adanya sebuah kaidah atau keradaan sebuah ketentuan hukum, walau selama hidupnya orang tersebut ada dipedalaman sekalipun
"Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. "
Kemudian JPU. Kasasi terhadap Onslag atau vonis bebas, berdasarkan Pasal 244 KUHAP. Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012
Vonis dari Mahkamah Agung atas kasasi JPU. yang tetap menuntut 6 Tahun penjara terhadap kedua TDW. melalui dakwaan serta tuntutan tindak pidana Pasal 338 KUHP. Hasilnya adalah di " Tolak," sesuai bunyi putusan kasasi yang dikutip dari situs Mahkamah Agung, Pada Hari Senin, 12 September 2022, perihal perkara kasasi yang tercatat dengan nomor perkara 938 K/Pid/2022 dan 939 K/Pid/2022
Dan perlu disimak, diingat serta diketahui terkait black history tahun 2022 ini pun terjadi di - era Jaksa Agung Dr. St. Burhanuddin , S.H., M.H. yang membiarkan lalakon mirip dagelan hukum yang dilakoni oleh JPU. yang sepertinya luput dari banyak mata pemerhati pelaksanaan dan penegakan hukum dari masyarakat pencahari keadilan, baik para praktisi profesi, dan pakar hukum dari kalangan akademisi, terkait faktor hak subjektifitas dari seorang JPU. untuk menahan TDW. Mengapa JPU. inkonsisten tidak menggunakan hak-nya untuk menahan TDW. Apakah dakwaannya terhadap Pasal 338 KUHP. Hanya sekedar asal saja. Karena terhadap nota bene Pasal a quo ancaman hukumannya adalah diatas 5 tahun maka secara juridis formil JPU. memiliki hak subjektif yang berlandaskan hukum sesuai Pasal 21 KUHAP. Demi hukum melakukan penahanan terhadap kedua orang TDW. Unlawful killing
Realitas, oknum pejabat era saat ini, nyaris disetiap sektor atau bidang (Hukum, Ekonomi politik, adab serta budaya) diantara pejabat penyelengara negara sejak tahun 2014 sampai dengan 2019 , 2019 sampai tahun ini 2023. Ditemukan beberapa policy atau diskresi yang menunjukan gambaran fenomena yang terang benderang terhadap penegakan hukum serta kebijakan hukum yang serba sungsang atau acakadut
Sebagai keterpaksaan oleh sebab putusan hukum, diluar pendapat publik yang negatif terhadap penetapan jumlah TSK. Unlawful killing Km.50. Ringannya tuntutan, serta yang paling menyedihkan serta menyakitkan terkait vonis onslag. Maka apapun bunyi putusannya oleh sebab hukum telah inkracht atau putusan berkekuatah hukum tetap. Terbukti kedua tersangka unlawful killing Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella, terbukti telah melakukan penganiayaan berat sehingga menimbulkan kematian terhadap 6 orang Laskar FPI. para mujahid yang kini telah menjadi syuhada yang terhadap 6 orang syuhada ini, selama hidupnya tidak pernah terdengar maupun terdeteksi melalui perangkat data digital, punya atau memiliki catatan hitam atau track record sebagai pelaku tindak pidana atau kriminal, walau sekedar kasus pencurian, terlebih tidak pernah melakukan korupsi, tidak pernah terlibat kasus money laundry, tidak terlibat kasus penggelapan pajak serta kasus - kasus hina dina lainnya, selain sebagai Pecinta Ulama, sekaligus sebagai Pengawal Guru mereka asset Islam Ummat Muslim dunia
Lalu, terhadap keterpaksaan dan atau kekeliruan dan atau kealfaan atau ketidak cakapan, tidak kehati - hatian atau ceroboh dan bahkan sesuatu tindakan blunder oleh sebab diawali, ketika penyidik telah melayangkan panggilan terhadap seorang yang belum memiliki status Tersangka atau bukan dalam status pelarian, atau tidak tersangkut unsur kriminal atau bukan seorang teroris dari sebuah organisasi teroris, mengapa membuat keputusan atau penetapan physical surveillance, secara terbuka, melalui bukti pernyataan lisan melalui sound systim sebagai pengeras suara yang disampaikan dan dinyatakan sendiri dengan pola gagah yang digagah - gagahkan melalui cara pengumuman langsung oleh Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jendral Polisi Fadil Imran, secara terbuka kepada publik dimuka umum, serta disaksikan dan didampingi oleh aparatur TNI pada hari itu juga, hari tewasnya 6 orang pemuda pecinta ulama sholeh
Hal surveillance ini tidak diatur dalam KUHAP terkait kasus hukum yang sekedar mudah - mudahan berlaku ( ius kontituendum ) terkait prokes Covid 19 yang cukup sanksi denda uang, dan atau perkataan bohong " saya sehat " yang tidak nyata implikasi kegaduhan yang ditimbulkan, semua perilaku aparat ini, tidak berkesesuaian dengan sistim hukum positif (ius konstitum) yang berlaku, bahkan sarat atau berkwalita pelencengan sitim KUHAP.
Sesuatu yang tidak wajar, tidak sesuai ketentuan KUHAP, karena yang sebenarnya aparatur tinggal menunggu dengan anggun serta berwibawa, promoter serta presisi ( tepat ) diruang penyidik esok pagi hari pukul 09. Pagi, tanggal 7 Desember 2020. Bukan menguntit dari pagi, petang hingga menjelang subuh, terhadap orang yang mendapat panggilan hukum, lalu fakta hukum berakibat hilangnya nyawa 6 orang terkasih dari 6 keluarga dan kerabat serta handai tolan.
Toh pastinya secara hukum ada alat pemaksa yang dimiliki oleh penyidik selaku Penegak hukum, jika ingin menggunakan sistim dan sanki hukum terhadap seorang subjek hukum yang tidak menghormati panggilan dari aparat yang berwenang. Serta notoire feiten (sepengatahuan umum) banyak subjek hukum yang mendapatkan panggilan dari penyidik yang menghadirinya pada panggilan ke-tiga, ke-empat bahkan ke-lima, jika memilki alasan yang patut
Nyatanya Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Metro Irjen Fadil Imran untuk dan atas nama lembaga/ institusi Polri secara de facto dan adab budaya serta falsafah negara Pancasila, dan selaku pemimpin yang semestinya berjiwa besar serta bertanggung jawab terhadap anggota dan institusi, mengapa dan kenapa sampai hari ini, setelah 2 tahun lebih, tidak sedikitpun ada ucapan permohonan maaf setidaknya jika serius berpendapat ada perilaku culfa / lalai yang ada terhadap personil KM.50 atau sekurang - kurangnya, jika tak ingin tuduhan melekat menjadi asumsi buruk dan masuk lebih jauh kedalam perangkap Catatan Cacatan Jasmerah, terkait perspektif "moord" pada case a quo, atau ada faktor penyusupan dari pihak ketiga, entah darimana provokator atau pihak ketiga itu datang, atau sudah mengendap lama lalu menjadi syetan pembisik, kalian para perwira tinggi tak inginkah menyampaikan sebuah ucapan bela sungkawa walau kenyataannya, anggota anda sudah bebas lepas dan merdeka hingga kini, sejak dilakukannya unlawful killing di Jalan Tol. Km. 50. Cikampek, Jawa Barat ?
Sebelum artikel hukum ini ditutup, tidak cukupkah untuk Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo terhadap " order terkait novum" yang pernah dijanjikan ? andai menyimak persidangan Sambo dalam kaitan pengakuan prematur- nya, terhadap informasi pasif dengan metode ilmu terkait kepiawaian investigasi dari penyidik Polri yang punya kuasa selain garis komando yang promoter dan presisi terhadap sosok Pamen Polri, Kombes Polisi Agus Nurpatria yang tentunya "atas perintah dan ada partner dalam bertugas," atau jika dibutuhkan Peran Serta Masyarakat sesuai amanah UU. Polri.
Semoga rezim pemerintahan mendatang pada periode 2024 - 2029 tidak demikian adanya seperti rezim kontemporer. Mudah - mudahan pemimpin di kemudian yang didapat bangsa ini melalui Pilpres yang JURDIL akan berbuah manis dan elok serta sosok yang jujur turun dari atas langit bukan keluar " dari bawah ".
Wallahu alam.
*) Penulis adalah Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Komentar