Generasi Muda Sakit, Saatnya Islam Bangkit

Oleh : Gayuh Rahayu Utami
Fenomena Citayam Fashion Week cukup menyita perhatian publik dan viral di berbagai media sosial.
Acara yang pesertanya didominasi para pemuda dari anak usia SMP hingga mahasiswa. Tidak ketinggalan juga gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan gaya parlente mengikuti ajang tersebut.
Citayam Fashion Week menjadi wabah di berbagai daerah. Dalam arti acara yang identik dengan lenggak lenggok di jalan dan mengganggu kemacetan lalu lintas malah ditiru di kota lain. Salah satunya adalah wilayah kota Malang. Kota yang dijuluki sebagai kota pelajar terkesan latah mengadakan acara yang serupa yang diselenggarakan di wilayah Kayutangan kota Malang. Para muda-mudi berlenggak-lenggok di kawasan jalan raya yang mengakibatkan kemacetan yang begitu panjang. Busana yang mereka pakai identik dengan mengumbar aurat meniru gaya Korea dan kebarat-baratan.
Di Citayam sendiri juga pesertanya ada yang usianya masih sekolah SD. Mirisnya di ajang tersebut pemudanya tidak hafal niat sholat walau mereka muslim. Kondisi yang begitu miris hari ini. Sudah jauh dari pemahaman Islam dibubuhi ajang yang cenderung mengarah kepada kemaksiatan. Bibit-bibit L68T mengikuti ajang ini sebagai bentuk apresiasi. Jelas fenomena ini menunjukkan bahwa negeri ini sedang mengalami krisis moral yang sistemik akibat negara hari ini abai terhadap akidah rakyat.
Dengan adanya fenomena ajang lenggak-lenggok di jalan menunjukkan bahwa generasi hari ini dibajak potensinya dengan dalih ajang kreatifitas dan menunjukkan hasil karyanya. Namun pada kenyataannya, pola pikir sekuler dan liberal tertancap kepada para pemuda yang hari ini sejatinya mengalami krisis identitas secra struktural. Pendidikan yang berbasis sekuler mencetak generasi yang jauh dari agama. Hanya mengejar nilai akademik namun minim pendidikan moral. Hasilnya terlihat pada era hari ini. Ajang lenggak-lenggok di jalan diberi apresiasi sedangkan acara "Gerakan Baca Al Qur'an di Malioboro Yogyakarta" mendapat nyinyiran dengan dalih takut Riya'.
Negara yang berbasis kapitalisme sekuler membiarkan hal ini terjadi. Mengabaikan akidah rakyat, hanya sebagai regulator kebijakan. Pun jika memberi solusi, masih sebatas permukaan, bukan mencari akar permasalahan terjadi kemaksiatan yang terus terjadi di negeri ini. Menghilangkan peran sebagai pengurus rakyat lebih mementingkan para korporat. Rusak dari segala sisi, baik dari pergaulan, ekonomi, sosial, dan politik suatu negara. Rakyat menjadi sapi perah jika kapitalisme masih digunakan sebagai pijakan.
Berbeda halnya dengan penanganan yang berbasis Islam. Negara tidak boleh memasukkan berbagai pemikiran asing dalam dunia pendidikan. Pendidikan dalam Islam mencetak generasi cemerlang dan diberi fasilitas yang murah, lengkap bahkan gratis. Pengelolaan pendidikan, sumber daya alam, dan sistem ekonominya diterapkan berdasarkan Islam. Negara betul-betul mengurusi rakyatnya dengan sepenuh hati dan menimbulkan rasa penuh keimanan bahwa kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah 'azza wa jalla di kala mengurusi rakyatnya. Lain halnya dengan era kapitalisme, penguasa hari ini seakan tidak takut dengan hari perhitungan di akhirat. Mengabaikan kewajibannya sebagai pelayan umat.
Dalam menunjukkan hasil karya, Islam mengatur dengan jelas bahwa tidak boleh ada unsur kemaksiatan. Misalnya tidak boleh ada ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan, dilarang mengumbar aurat di depan umum, dan tidak boleh mengganggu aktifitas publik seperti membuat kemacetan lalu lintas.
Ditambah lagi melarang keras adanya kaum pelangi yang tumbuh subur di negeri ini karena mengakibatkan datangnya berbagai adzab Allah. Sungguh negeri ini sangat membutuhkan perlindungan secara menyeluruh dari berbagai kemaksiatan dengan sistem yang berlandaskan Islam dan butuh pemimpin yang amanah serta tulus melayani rakyat tanpa mempertimbangkan untung rugi.
*) Penulis adalah Komunitas Peduli Umat
Komentar