DEN KSBSI Tolak Kenaikan Harga BBM dan Terbitkan Perpu Penangguhan Pemberlakuan klaster ketenagakerjaan

RadarKotaNews, Jakarta - Ratusan massa mengatasnamakan diri dari Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI) menggelar aksi unjuk rasa di kawasan patung Kuda Indosat, Jakarta Pusat, Jumat (28/10)
Mereka meminta Presiden menerbitkan Perpu penangguhan keberlakuan klaster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dan memberlakukan UU No.13 tahun 2003 dan tolak upah yang berdasarkan PP 36 serta tolak kenaikan
Koordinator aksi Dedi Haryanto menjelaskan dampak dari kenaikan BBM ini adalah daya beli masyarakat menurun, kami dari Banten adalah tuan dari pada Industri akan tetapi kami kaum buruh jauh dari kata sejahtera.
"Bertepatan dengan hari Sumpah pemuda ini kita berjuang untuk memperjuangkan hak hak kaum buruh, untuk itu upah harus naik," tegas Dedi Haryanto.
Ia menuturkan, kenyataan dilapangan bahwa UU Omnibus low digunakan untuk memutuskan hubungan kerja PHK dengan mudah dengan alasan pandemi, menolak upah berdasarkan PP 36, poinnya pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis yaitu dengan menetapkan ulah buruh artinya pemerintah melakukan pelanggaran konstitusional.
"Kita meminta Kemenaker untuk tidak menggunakan wewenang dengan menentukan pengupahan, untuk penetapan kepala daerah yaitu Gubernurlah yang lebih mengetahui kondisi warga yang berada diwilayahnya, untuk itu sebelum tanggal 30 kita akan melaksanakan aksi serentak di masing masih wilayah," tegasnya
Pasalnya kata dia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), khususnya Klaster Ketenagakerjaan adalah nyata menyengsarakan nasib buruh karena mengurangi hak-hak buruh dan memperlemah posisi tawar serikat buruh.
Dedi Haryanto menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja mendesain hubungan kerja kontrak seumur hidup, melegalkan outsourcing untuk seluruh jenis kegiatan usaha dan pekerjaan, menghilangkan upah minimum sektoral, membuat formula upah minimum yang menekan kenaikan upah dan memangkas pesangon.
Di sisi lain UU juga mengatur ketentuan upah di “sektor informal” berdasarkan kesepakatan upah yang besarannya minimal 25% di atas garis kemiskinan atau 50% diatas rata-rata konsumsi.
"Semua hal tersebut, berimplikasi pada penurunan penghasilan, pendapatan penduduk yang bekerja, dan tanpa sistim perlindungan sosial yang memadai, sehingga beresiko meningkatnya pengangguran dan kemiskinan yang pada gilirannya juga akan kembali menjadi beban bagi negara," pungkas Dedi Haryanto. (adrian)
Komentar